Friday, 23 November 2012

Jangan Berbicara Keras Seperti Keledai


Nasehat Lukman pada Anaknya (6),
Jangan Berbicara Keras Seperti Keledai

Satu akhlak mulia lagi diajarkan oleh Lukman kepada anaknya ketika ia memberi wasiat padanya yaitu sikap tawadhu’ dan bagaimana beradab di hadapan manusia. Di antara yang dinasehatkan Lukman Al Hakim adalah mengenai adab berbicara, yaitu janganlah berbicara keras seperti keledai.

Allah Ta’ala berfirman,
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Lukman: 19).

Berjalanlah dengan Tawadhu’

Mengenai ayat,
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan”, 

yang dimaksud adalah berjalan dengan sikap pertengahan.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ Berjalanlah dengan sikap pertengahan. Jangan terlalu lambat seperti orang malas. Jangan terlalu cepat seperti orang yang tergesa-gesa. Namun bersikaplah adil dan pertengahan dalam berjalan, antara cepat dan lambat.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 58)

Ulama lain menerangkan yang dimaksud dengan perkataan Lukman adalah agar tidak bersikap sombong dan perintah untuk bersikap tawadhu’.

Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud adalah berjalanlah dengan sikap tawadhu’ dan tenang. Janganlah bersikap sombong dan takabbur. Jangan pula berjalan seperti orang yang malas-malasan.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 648).

Keutamaan sifat tawadhu’ disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya” (HR. Muslim no. 2588).

Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  16: 142)

Ibnul Jauzi berkata, “ Berjalanlah bersikap pertengahan. Janganlah berjalan dengan sikap sombong dan jangan terlalu cepat (tergesa-gesa). ‘Atho’ berkata, “Jalanlah dengan tenang dan jangan tergesa-gesa.” (Zaadul Masiir, 6: 323)

Beradab Ketika Berbicara

Selanjutnya Lukman mengajarkan pada anaknya mengenai adab dalam berbicara. Dalam ayat disebutkan,
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“Dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Katsir, maksud ayat ini, jangalah berbicara keras dalam hal yang tidak bermanfaat. Karena sejelek-jelek suara adalah suara keledai.

Mujahid berkata, “Sejelek-jelek suara adalah suara keledai.” Jadi siapa yang berbicara dengan suara keras, ia mirip dengan keledai dalam hal mengeraskan suara. Dan suara seperti ini dibenci oleh AllahTa’ala.

Dinyatakan ada keserupaan menunjukkan akan keharaman bersuara keras dan tercelanya perbuatan semacam itu sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السَّوْءِ ، الَّذِى يَعُودُ فِى هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَرْجِعُ فِى قَيْئِهِ

“Tidak ada bagi kami permisalan yang jelek. Orang yang menarik kembali pemberiannya adalah seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya” [1] (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 58)

Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Seandainya mengeraskan suara dianggap ada faedah dan manfaat, tentu tidak dinyatakan secara khusus dengan suara keledai yang sudah diketahui jelek dan menunjukkan kelakuan orang bodoh.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 648).

Sungguh tanda tidak beradabnya seorang muslim jika ia berbicara dengan nada keras di hadapan orang tuanya sendiri, apalagi jika sampai membentak.

Mengenai suara keledai, kita diminta meminta perlindungan pada Allah ketika mendengarnya. Hal ini berbeda dengan suara ayam berkokok. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ، فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا ، وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ ، فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا

“Apabila kalian mendengar ayam jantan berkokok di waktu malam, maka mintalah anugrah kepada Allah, karena sesungguhnya ia melihat malaikat. Namun apabila engkau mendengar keledai meringkik di waktu malam, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan, karena sesungguhnya ia telah melihat syaithan” (HR. Muslim no. 3303 dan Muslim no. 2729).

Masih ada nasehat yang penuh hikmah dari Lukman Al Hakim yang tidak terdapat dalam surat Lukman yang sedang kita bahas. Insya Allah, nasehat-nasehat beliau akan kami rangkaikan dalam tulisan berikutnya.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:


  • Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.
  • Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
  • Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab AIslami, cetakan ketiga, 1404 H

Sumber: Rumaysho.com @ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 2 Rajab 1433 H

Friday, 2 November 2012

Jangan Bertingkah Sombong


Nasehat Lukman pada Anaknya (5),

Jangan Bertingkah Sombong

Masih melanjutkan nasehat Lukman pada anaknya. Dalam ayat selanjutnya, Lukman mengajarkan bagaimanakah akhlak mulia jika seseorang bercakap-cakap dengan yang lain, termasuk pula pada orang tua. Begitu pula diajarkan agar tidak berperilaku sombong.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Lukman: 18).

Ayat ini mengajarkan akhlak yang mulia yaitu bagaimana seorang muslim sebaiknya bersikap ketika berbicara, di manakah pandangan wajahnya. Dalam ayat ini diajarkan agar seorang muslim tidak bersikap sombong. Inilah yang dinasehatkan Lukman pada anaknya.

Memalingkan Wajah Ketika Berbicara
Dalam ayat mulia di atas disebutkan,
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia.”  Yang dimaksud adalah janganlah engkau memalingkan wajahmu ketika sedang berbicara pada yang lain atau ada yang mengajak bicara. Ini menunjukkan sifat sombong pada mereka. Ketika berbicara arahkanlah wajahmu kepada lawan bicara. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
ولو أن تلقى أخاك ووجهك إليه مُنْبَسِط، وإياك وإسبال الإزار فإنها من المِخيلَة، والمخيلة لا يحبها الله
“Jika engkau bertemu saudaramu, berwajahlah ceria di hadapannya. Waspadalah dengan menjulurkan celana di bawah mata kaki karena perbuatan tersebut termasuk kesombongan. Namanya sombong tidak disukai oleh Allah.” (HR. Ahmad 5: 63).

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata mengenai ayat tersebut, “Janganlah bersikap sombong sehingga membuatmu meremehkan hamba Allah dan wajahmu malah berpaling ketika mereka mengajakmu bicara.” Demikian diriwayatkan oleh Al ‘Aufi dan ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas.

Zaid bin Aslam pun berkata yang serupa, “Janganlah bercakap-cakap dengan yang lain dalam keadaan wajahmu berpaling dari lawan bicaramu.” Demikian pula diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Zaid bin Al Ashom, Abul Jauzaa’, Sa’id bin Jubair, Adh Dhohak, Ibnu Yazid dan lainnya.

Ibrahim An Nakho’i berkata bahwa yang dimaksud adalah cara berbicara yang keras.

Syaikh As Sa’di menjelaskan, “Janganlah berpaling atau bermuka cemberut ketika bercakap-cakap dengan yang lain karena sombong dan angkuh.”

Berjalan dengan Sombong
Dalam lanjutan ayat disebutkan,
وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا
“ dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.” Maksud ayat ini adalah janganlah bersikap sombong dan angkuh. Janganlah melakukan hal tersebut karena dibenci oleh Allah. Oleh karenanya, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“ Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

Syaikh As Sa’di berkata mengenai ayat ini, “ Yang dimaksud adalah jangan bersikap sombong yaitu begitu bangga dengan nikmat dan akhirnya lupa pada pemberi nikmat. Dan jangan pula merasa ujub terhadap diri sendiri.”

Haramnya Isbal pada Pakaian
Adz Dzahabi  berkata dalam Al Kabair mengenai haramnya isbal. Beliau membawakan ayat,
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh” (QS. Lukman: 18).
Dan beliau menyertakan dengan hadits,
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ
“Kain yang berada di bawah mata kaki tempatnya di neraka” (HR. Bukhari no. 5787).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
“Allah tidak akan melihat (pada hari kiamat) orang yang menjulurkan kainnya (di bawah mata kaki) dengan sombong” (HR. Bukhari no. 5788 dan Muslim no. 2087). (Dinukil dari Tafsir Al Imam Adz Dzahabi, 2: 602)

Berarti isbal itu terlarang lebih-lebih jika dengan sombong. Isbal adalah menjulurkan kain celana atau sarung di bawah mata kaki.

Wasiat Lukman ini mengajarkan kita beberapa akhlak mulia. Ketika berbicara dengan orang lain, hadapkanlah wajah kepada lawan bicara dan jangan bersikap sombong. Dalam bersikap jangan terlalu angkuh, sombong dan ujub. Karena Allah tidak menyukai orang-orang yang demikian.

Ya Allah, anugerahkanlah pada kami akhlak yang mulia dan jauhkanlah dari kami akhlak-akhlak tercela.

Semoga Allah memberi hidayah demi hidayah.

Referensi:
  1. Tafsir Al Imam Adz Dzahabi, Su’ud ‘Abdullah Al Fanisah, terbitan Maktabah Al ‘Ubaikan, cetakan pertama, 1424 H.
  2. Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.
  3. Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
  4. Sumber: rumaysho.com @ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 28 Jumadats Tsaniyah 1433 H