Wednesday 27 June 2012

Berbaktilah Kepada Orang Tua


Nasehat Lukman Kepada Anaknya (2),

Berbaktilah Kepada Orang Tua


Wasiat Lukman berikutnya adalah mengenai berbakti kepada orang tua. Di dalam nasehat tersebut disampaikan alasan kenapa kita mesti berbakti kepada orang tua. Karena kesusahan yang dihadapi oleh ibu ketika mengandung hingga menyapih, maka sudah pantas kita membalas kebaikannya.
Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Lukman: 14).

Perintah Bakti pada Orang Tua
Sebelumnya Lukman menyampaikan wasiat yang amat penting pada anaknya yaitu untuk mentauhidkan Allah dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Setelah itu, ia menggandengkan wasiat selanjutnya dengan bakti kepada kedua orang tua. Ini menunjukkan berbakti kepada orang tua adalah ibadah yang amat mulia karena digandengkan dengan amalan yang mulia yaitu tauhid dan menjauhi kesyirikan. Wasiat berbakti kepada orang tua yang digandengkan dengan perintah untuk mentauhidkan Allah juga disebutkan dalam beberapa ayat di antaranya,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al Isro’: 23).

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak” (QS. An Nisa’: 36).

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak” (QS. Al An’am: 151).

Kesusahan Ibu Ketika Mengandung Kita
Disebutkan dalam ayat yang mulia ini bahwa ibu yang mengandung kita telah mengalami berbagai kesusahan. Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ

“Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah” (QS. Lukman: 14).

Inilah di antara alasan kenapa kita mesti berbakti pada orang tua karena kesusahan yang ia hadapi ketika mengandung kita (Lihat Taisir Al Karimir Rahman, 648).

Mujahid berkata bahwa yang dimaksud “وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ” adalah kesulitan ketika mengandung anak. Qotadah berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dengan penuh usaha keras. ‘Atho’ Al Khorosani berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 53).

Namun demikianlah kita jarang mengingat kesusahan ibu ketika mengandung kita. Jika kita mengingat demikian, tentu balas budi yang kita berikan pada ibu, bukan malah kedurhakaan, bukan malah suka membantah, dan bukan malah seringnya merendahkan ortu. Dan kita harus selalu ingat, bahwa ibu menyapih kita selama dua tahun, lalu pantaskah dengan kedurhakaan yang kita balas?

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami atas kedurhakaan kami selama ini.

Masa Minimal Kehamilan
Dari ayat, وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ

“Dan menyapihnya dalam dua tahun” (QS. Lukman: 14). dan juga ayat lainnya,

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al Baqarah: 233), 
Para ulama mengambil kesimpulan bahwa waktu minimal ibu mengandung adalah 6 bulan. Demikian pendapat di antara dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Hal ini disimpulkan pula dari ayat lainnya,

وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا

“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (QS. Al Ahqaf: 15).
Karena kalau dihitung-hitung waktu total dari mengandung sampai menyapih adalah 30 bulan. Dan waktu menyapih adalah 2 tahun, sama dengan 24 bulan. Dengan demikian waktu minimal seorang ibu mengandung adalah 30 – 24 bulan, sama dengan 6 bulan.

Bersyukurlah Kepada Kedua Orang Tua
Jika kita telah mengetahui bagaimana orang tua telah mengasuh kita dan bagaimana susahnya mereka siang dan malam, maka hendaklah kita sebagai seorang anak untuk berbuat baik dan membalas kebaikan kita. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan ucapkanlah: "Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil" (QS. Al Isro’: 24).

Oleh karenanya dalam nasehat Lukman yang kita bahas, Allah Ta’ala berfirman,

أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Lukman: 14).
Siapa yang membalas kebaikan orang tua dengan berbuat baik padanya, maka Allah pun akan membalasnya di hari kiamat kelak (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 53-54).

Syaikh As Sa’di berkata, “ Hendaklah kita berbuat baik pada kedua orang tua dengan berkata yang lemah lembut, perbuatan yang baik, tawadhu’, selalu memuliakan mereka dan jangan sampai menyakiti mereka dengan perkataan atau perbuatan”. (Taisir Al Karimir Rahman, 648).

Bakti Kepada Ibu Lebih Utama
Dari ayat yang kita bahas, menunjukkan bahwa bakti kepada ibu itu lebih utama. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِى قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « ثُمَّ أَبُوكَ »

“Seorang pria pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Siapa dari kerabatku yang paling berhak aku berbuat baik?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu.’ Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ayahmu’.”
(HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “ Dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berbuat baik kepada kerabat dan ibu lebih utama dalam hal ini, kemudian setelah itu adalah ayah, kemudian setelah itu adalah anggota kerabat yang lainnya. Para ulama mengatakan bahwa ibu lebih diutamakan karena keletihan yang dia alami, curahan perhatiannya pada anak-anaknya, dan pengabdiannya. Terutama lagi ketika dia hamil, melahirkan (proses bersalin), ketika menyusui, dan juga tatkala mendidik anak-anaknya sampai dewasa” (Syarh Muslim, 8: 331).

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:
Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
Fiqh  At Ta’amul Ma’al Walidain, Musthofa Al ‘Adawi, terbitan Maktabah Makkah.

Sumber: rumaysho.com, @ KSU, Riyadh, KSA, 1 Jumadil  Ula 1433 H

Friday 8 June 2012

Bersyukur Atas Anugerah Hikmah


Nasehat Lukman Kepada Anaknya (1),

Ada nasehat berharga dari Lukman Al Hakim, seorang sholeh, kepada anaknya. Nasehat-nasehat ini bisa dijadikan renungan bagi orang tua dan kaum muslimin pada umumnya, mana saja nasehat penting yang lebih utama diberikan kepada anaknya. Tulisan ini adalah serial awal dari nasehat Lukman. Namun kami awali terlebih dahulu siapakah Lukman. Karena kata pepatah, “Tak kenal, maka tak sayang”. Bahasan ini pun akan menyinggung perintah Allah pada Lukman untuk bersyukur karena anugerah hikmah yang diperuntukkan padanya.

 Allah Menganugerahkan Hikmah kepada Lukman

Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (QS. Lukman: 12)

Yang dimaksud hikmah di sini, ada dua pendapat di kalangan para ulama. Mayoritas ulama berpandangan bahwa hikmah adalah kepahaman dan logika. Sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwa hikmah adalah nubuwwah (kenabian). Para ulama lalu berbeda pendapat apakah Lukman adalah seorang Nabi. Sa’id bin Musayyib, Mujahid dan Qotadah berpendapat bahwa Lukman hanyalah orang yang diberi hikmah dan bukan seorang Nabi. Sedangkan ‘Ikrimah berpendapat bahwa Lukman adalah seorang Nabi. Namun pendapat pertama yang menyatakan  Lukman hanyalah orang yang mendapatkan hikmah, itulah yang lebih tepat (Lihat Zaadul Masiir, 6: 317-318).

Dari Sa’id bin Abi ‘Arubah, dari Qotadah, ia berkata mengenai firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman”. Maksud hikmah adalah memahami Islam. Dan Lukman bukanlah Nabi dan ia pun tidak diberi wahyu.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 52).

Ibnu Katsir mengatakan bahwa hikmah adalah kepahaman, ilmu dan ta’bir (penjelasan). (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 52).

Syaikh As Sa’di menyatakan bahwa hikmah akan membuahkan ilmu, bahkan amalan. Oleh karenanya, hikmah ditafsirkan dengan ilmu yang bermanfaat dan amalan sholeh. Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Hikmah adalah ilmu yang benar dan pengetahuan akan berbagai hal dalam Islam. Orang yang memiliki hikmah akan mengetahui rahasia-rahasia di balik syari’at Islam. Jadi orang bisa saja ‘alim (memiliki banyak ilmu), namun belum tentu memiliki hikmah.” (Taisir Al Karimir Rahman, 648).

Siapakah Lukman?
Lukman adalah seorang hamba yang sholeh sebagaimana keterangan di atas. Sa’id bin Al Musayyib mengatakan bahwa Lukman adalah penjahit. Ibnu Zaid mengatakan bahwa Lukman adalah seorang pengembala. Ulama lain seperti Kholid Ar Rob’i menyatakan bahwa Lukman adalah seorang tukang kayu.

Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa Lukman adalah seorang budak dari negeri Habasyah (sekarang: Ethiopia sekitarnya). Sa’id bin Al Musayyib mengatakan bahwa Lukman itu seorang yang berkulit hitam dari Sudan (negeri kulit hitam). Ciri-ciri Lukman, bibirnya itu tebal dan kakinya pecah-pecah sebagaimana kata Mujahid. Ia adalah seorang qodhi dari Bani Isroil (Lihat Zaadul Masiir, 6: 318).

Ada pelajaran penting dari sini bahwa Allah tidaklah memandang pada warna kulit. Lihatlah Lukman, ia orang yang berkulit hitam dari negeri Sudan. Kita sudah ma’ruf bagaimanakah wajah orang Afrika, hitam kelam. Seseorang mulia adalah dengan takwa, sehingga tidaklah perlu minder dengan warna kulit dan asal daerah kita. Sekali lagi kita akan semakin mulia dengan takwa.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“ Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.” (QS. Al Hujurat: 13).

Lihatlah perkataan di bawah ini.
Al Auza’i rahimahullah berkata bahwa ‘Abdurrahman bin Harmalah berkata, “ Ada seorang yang berkulit hitam menghadap Sa’id bin Al Musayyib dan ia ingin menanyakan sesuatu. Dan ketika ketika itu Sa’id berkata pada laki-laki berkulit hitam tadi,
لا تحزن من أجل أنك أسود، فإنه كان من أخير الناس ثلاثة من السودان: بلال، ومهْجَع مولى عمر بن الخطاب، ولقمان الحكيم

“Janganlah sedih karena engkau orang berkulit hitam. Lihatlah ada tiga orang pilihan dari Sudan (negeri kulit hitam): (1) Bilal, (2) Mahja’, bekas budak ‘Umar bin Al Khottob, (3) Lukman Al Hakim.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 50).

Bersyukurlah Kepada Allah
Asy Syaukani berkata, “ Bersyukur pada Allah adalah memuji-Nya sebagai balasan atas nikmat yang diberikan dengan cara melakukan ketaatan pada-Nya” (Fathul Qodir, 5: 487).

Para ulama menjelaskan bahwa seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun syukur: (1)  mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), (2) membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan (3) menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhoi Allah (dengan anggota badan). Ibnu Taimiyah menyatakan, “Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.” (Majmu’ Al Fatawa, 11: 135)

Yang diperintahkan pada Lukman adalah untuk bersyukur pada Allah. Syukur ini diperintahkan sebagai anugerah hikmah dan kemuliaan dari Allah yang diperuntukkan padanya. Di mana hikmah ini teristimewa untuknya dibanding orang yang sejenis dengannya dan orang berada di zamannya. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 52).

Lalu Allah berfirman,
وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِه

“ Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri”.

Ibnu Katsir berkata, “ Barangsiapa yang bersyukur, maka manfaat dan pahalanya akan kembali pada dirinya sendiri. Sebagaimana Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِأَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ

“ Dan barangsiapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan).” (QS. Ar Rum: 44). (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 52).

Sebaliknya barangsiapa yang mengingkari nikmat atau enggan bersyukur,
وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“ dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (QS. Lukman: 12).

Artinya, Allah itu Maha Kaya, tidak butuh pada hamba. Jika hamba tidak bersyukur, itu pun tidak membuat Allah terluka. Jika seluruh penduduk di muka bumi kufur, maka Allah tidak bergantung pada yang lainnya.

Laa ilaha illallah, tidak ada yang berhak disembah selain Allah (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 52). Yahya bin Salam berkata, “Allah itu Maha Kaya, tidak butuh pada selain Dia. Allah pun Maha Terpuji dalam segala perbuatan-Nya.” (Fathul Qodir, 5: 487).

Dalam hadits qudsi ditunjukkan bahwa Allah tidak butuh pada rasa syukur seorang hamba dan jika mereka tidak bersyukur, itu pun tidaklah mengurangi kekuasaan Allah.
يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا

“ Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertaqwa seperti orang yang paling bertaqwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.” (HR. Muslim no. 2577).

Ayat dari surat Lukman di atas mengajarkan kepada kita untuk bersyukur atas berbagai macam nikmat, lebih-lebih lagi dengan nikmat yang begitu besar yang Allah anugerahkan. Kepahaman terhadap agama adalah suatu nikmat yang besar dan begitu berharga. Kepahaman terhadap diinul Islam pun termasuk hikmah.

Jika kita diberikan anugerah ilmu oleh Allah, rajin-rajinlah untuk selalu bersyukur pada-Nya.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“ Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".” (QS. Ibrahim: 7).

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “ Barangsiapa bersyukur pada Allah atas berbagai macam nikmat yang dianugerahkan, Allah akan menjadikannya semakin taat.” Maqotil berkata, “Barangsiapa yang mengesakan Allah dalam syukur, maka Allah akan memberikan baginya kebaikan di dunia.” (Lihat Zaadul Masiir, 4: 347).

Begitu pula terhadap nikmat yang terlihat kecil dan sepele, syukurilah. Jika nikmat kecil saja tidak bisa disyukuri, bagaimana lagi dengan nikmat yang besar.
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

“ Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4: 278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667)

 Kita belum memasuki nasehat Lukman pada anaknya, baru pada muqoddimah atau introduction. Insya Allah dalam tulisan selanjutnya kita akan melihat bagaimana nasehat-nasehat Lukman pada anaknya. Ada nasehat penting  dan begitu urgent yang disampaikan Lukman, yaitu dalam masalah akidah. Nantikan saja pada tulisan rumaysho.com selanjutnya. Moga Allah beri kemudahan.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. (Bersambung)

Referensi
  1. Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir.
  2. Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
  3. Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.
  4. Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab AIslami, cetakan ketiga, 1404 H.

SUMBER: rumaysho.com, @ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 28 Rabiul Awwal 1433 H